ilustrasi
Oleh : D. Orlando.
"The current situation in the world food markets, characterized by sharp
increaces in maize, wheat and soybean prices, has raised fears of a
repeat of the 2007-2008 world food crisis. But swift, coordinated
international action can stop that from happening. We need to act
urgently to make sure that these price shocks do not turn into a
catastrophe hurting tens of million over the coming months"
(Joint Statement from FAO, IFAD and WFP – Roma, 04/09/12) Harga komoditas pangan
yang
mulai bergerak naik bulan-bulan terakhir ini telah menjadi perhatian
serius masyarakat global. Pergulatan ini tentunya akan terus berlangsung
di tengah ancaman ledakan penduduk dunia dan semakin terbatasnya lahan
pangan. Efek domino perubahan iklim juga turut menjadi ancaman serius.
Persoalan pangan ini pastilah bertambah rumit bila kepentingan energi
juga mulai diikutsertakan. Bila ini diabaikan, bencana kelaparan akan
muncul.
Persoalan Pangan Global dan Indonesia
Dampak terbesar dari naiknya harga komoditas pangan adalah negara-negara
miskin, berkembang, dan berbasis impor. Bagi negara-negara tersebut,
kenaikan harga sekecil apapun berarti pengeluaran biaya yang lebih besar
untuk konsumsi makanan. Pengeluaran biaya konsumsi makanan yang lebih
besar juga berarti berkurangnya porsi pengeluaran untuk perumahan,
pendidikan, dan kesehatan.
Lantas, bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Takagi dan Silva (2011)
menyebutkan bahwa tren kerawanan pangan pada kenyataannya terjadi di
semua belahan bumi, terkecuali di Amerika Selatan. Ancaman krisis pangan
utamanya terjadi di Asia Pasifik, dan Subsahara (Afrika).
Laporan FAO pada 2010 bahkan menyebutkan bahwa hampir 90% bencana
kelaparan dunia berlangsung di kedua benua ini. Lebih lanjut, walaupun
Afrika mendapat perhatian khusus, bukan berarti Asia (khususnya
Indonesia) bebas dari ancaman krisis pangan. Tingginya jumlah penduduk,
melemahnya pertanian nasional, mahalnya harga pangan, dan ketergantungan
impor pangan yang besar berpotensi menjadi bom waktu.
Menarik kita cermati pula laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret
2012. Laporan BPS menyebutkan bahwa penduduk miskin di Indonesia pada
Maret 2012 mencapai 29,13 juta jiwa (11,96%). Angka ini diklaim
berkurang sebesar 0,89 juta jiwa bila dibandingkan dengan Maret 2011
(12,49%). Tren penurunan kemiskinan juga positif bila dibandingkan pada
2010, yakni sebesar 31,02 juta jiwa (13,33%).
Persoalan kemiskinan jelas bukan lagi hanya sekedar berapa berkurangnya
jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang juga perlu
diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan. Selain
memperkecil jumlah, penanggulan kemiskinan juga berarti mengurangi
tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan.
Tren positif berkurang jumlah dan persentase penduduk miskin nyatanya
juga diikuti penurunan Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan
Kemiskinan. Secara berturut-turut, indeks turun dari 2,08 menjadi 1,88
dan dari 0,55 menjadi 0,47 pada kurun periode yang sama. Penurunan nilai
kedua indeks ini mengindikasi bahwa ada peningkatan pengeluaran
penduduk miskin yang semakin mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan
pengeluaran penduduk miskin yang juga semakin kecil.
Namun, perhatian serius tetap perlu diberikan. Pada laporan yang sama
pula, terlihat jelas bahwa peranan komoditi makanan terhadap Garis
kemiskinan sangat nyata, yaitu sebesar 73,50%. Kembali, beras menempati
urutan pertama komoditi makanan yang sangat mempengaruhi Garis
Kemiskinan disusul rokok kretek filter, telur ayam ras, gula pasir,
tempe, tahu, mie instan, dan bawang merah. Sampai pada titik ini,
terlihat jelas bahwa penduduk Indonesia tidak kebal krisis jika terjadi
gejolak pada pertanian global.
Urgensi Pembangunan Pertanian
Penting untuk diingatkan kembali bahwa negeri ini mempunyai
ketergantungan yang tinggi pada pangan impor. Indonesia bergantung pada
impor sebesar 100 persen untuk gandum, 78 persen kedelai, 72 persen
susu, 54 persen gula, dan 20 persen daging sapi (Kompas, 30/07/12).
Memang tidak mungkin sebuah negara sanggup sepenuhnya memenuhi kebutuhan
dalam negeri secara mandiri. Namun, juga kurang bijak apabila
menyerahkan pangan-pangan strategis nasional ke dalam mekanisme pasar
bebas. Kerawanan dapat terjadi kapan saat karena gejolak harga.
Masalah pertanian di dalam negeri juga tidak kalah banyaknya. Selain
karena kondisi kepemilikan lahan petani yang sempit, laju konversi lahan
juga berlangsung drastis. Luas konversi lahan sawah ke non sawah
mencapai 187.720 ha per tahun, dengan rincian alih fungsi ke non
pertanian sebesar 110.164 ha per tahun dan alih fungsi lahan ke
pertanian lainnya sebesar 77.556 ha. Adapun alih fungsi lahan kering
pertanian ke non pertanian sebesar 9.152 ha per tahun (BPS, 2004). Ini
tentu berimplikasi nyata pada penurunan kapasitas produksi pangan dan
mengancam ketahanan pangan.
Tantangan sektor pertanian tentu akan bertambah seiring berkembangnya
zaman. Sektor pertanian telah menjadi tumpuan pembangunan peradaban.
Berangkat dari pemahaman diatas, maka strategi pembangunan pertanian
mutlak diperlukan. Silakan saja melibatkan studi lintas sektoral, para
ahli hingga mengadopsi keberhasilan negara tetangga dalam memaknai
strategi pembangunan ini.
Investasi di bidang pembangunan pertanian menjadi harga yang tidak dapat
ditawar lagi. Investasi pertanian menjadi sangat penting guna
pencapaian ketahanan pangan yang berkelanjutan. Fokus pembangunan
pertanian dapat dimulai dari penyediaan sarana dan prasarana yang
memadai, peningkatan manajemen pengolahan pangan, dan pemanfaatan riset.
FAO bahkan menegaskan pentingnya investasi pertanian yang dikombinasikan
dengan jaminan keamanan sosial. Artinya, selagi menunggu buah dari
investasi yang dilakukan, penduduk miskin tetap mendapat jaminan akan
akses pangan.
Penutup
Kita semua sadar bahwa pembangunan pertanian memang tidaklah semudah
membalikkan telapak tangan. Untuk mencapai hasil maksimal, mutlak
diperlukan kerjasama dan koordinasi lini terkait. Partisipasi aktif dari
semua pihak pun menjadi penting.
Terakhir dan yang tidak kalah pentingnya adalah keberanian, ketegasan,
dan keseriusan pemerintah dalam keberpihakan kepada petani. Tanpa
keberanian, mimpi ketahanan pangan nasional hanya akan semakin buntu.
***
Penulis adalah alumni Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian UGM. Email:
jan_sparcow@yahoo.com .